TUGAS PENGANTAR BISNIS
MINGGU KE 10
KELOMPOK :
• Indri Agustian F (23212717)
• Mega Nirmala P (24212514)
• Tiara Diana Y (27212369)
• Desi Aulia S (21212885)
• Dwi Catur A (22212277)
KELAS : 1EB19
Minggu 10
Pertanyaan
1. Sebutkan langkah-langkah perusahaan dalam merekrut karyawan / pegawai?
2. Sebutkan apa yang dimaksud dengan out sourching dan bagaimana perkembangannya di Indonesia ?
3. Sebutkan hukum-hukum yang mengatur hubungan antara tenaga kerja dan manajer?
Jawaban
1. Langkah-langkah Merekrut Karyawan
Umumnya, para pengusaha pasti akan menyebarkan informasi bahwa bisnis
yang sedang dijalankannya sedang membutuhkan tenaga tambahan. Menjaring
wajah baru bisa melalui beragam cara. Contohnya, melalui iklan,
perusahaan pencari tenaga kerja, lembaga pendidikan, organisasi buruh,
dan sebagainya. Perusahaan juga memilih lebih dari satu metode,
tergantung dari situasi dan kondisi yang terjadi saat itu.
Dengan pertimbangan tertentu, beberapa pengusaha mengaku lebih suka
mengambil tenaga kerja dari lingkungan sekitar mereka. Salah satu
pertimbangannya, lokasi dan keamanan perusahaan. Jika karyawan bermukim
di belasan bahkan puluhan kilometer dari tempatnya bekerja, tentu saja
akan menggerus upah untuk ongkos transportasi. Apalagi perusahaan yang
buka 24 jam dan menerapkan sistem kerja berdasarkan shift, bila tidak
didukung oleh tenaga kerja dari lingkungan sekitar tentu akan kerepotan
saat mereka bekerja di shift malam.
Beberapa pengusaha juga mencari karyawan hasil rekomendasi dari sahabat
dan kerabat terdekat. Informasi dari mulut ke mulut, juga biasanya lebih
tepat sasaran, karena kualitas dan kriteria sudah terbukti dan ada
penjamin dari si pemberi rekomendasi. Sebab, mau tak mau si pemberi
rekomendasi ikut bertanggung jawab dengan kinerja si pekerja. Selain
itu, ongkosnya lebih ngirit, karena tidak mengeluarkan biaya untuk
beriklan di koran.
Menentukan Kriteria
Banyak pengusaha UKM yang tak mengharuskan karyawannya mengantongi
ijazah perguruan tinggi. Siapapun orangnya, asal punya keistimewaan dan
keterampilan di bidangnya, bekerja bagus, mau belajar, jujur, dan loyal
itu sudah cukup. Yang diutamakan keahlian ketimbang pendidikan formal.
Karakter karyawan juga perlu. Persoalan karakter ini jadi penting,
terutama untuk pekerjaan yang berhubungan dengan uang. Misalnya, untuk
bagian penagihan atau keuangan. Jika si karyawan tukang tilap, tagihan
bisa “hilang mendadak” karena duitnya dipakai duluan.
Bagi pengusaha di bidang pelayanan atau jasa seperti bengkel motor
mobil, selain keterampilan, prestasi di bangku sekolah juga menjadi
ukuran. Biasanya dicari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK yang dulu
bernama STM). Selain itu, calon karyawan juga melalui tes psikologi,
tes IQ, tes teknis, dan tes wawancara.
Merencanakan Pelatihan
Setelah mendapat karyawan baru, yang harus dipikirkan kemudian ialah
melatihnya. Ada yang menyebutnya sebagai masa magang karyawan, atau masa
kontrak. Tujuannya untuk mengenalkan dan memahamkan karyawan baru
terhadap bidang yang akan mereka geluti. Kendati penting, sejumlah
perusahaan meniadakan kegiatan ini.
Bagi pengusaha, pelatihan ini bisa menjadi titik awal menilai kinerja
karyawan. Umumnya, ada eveluasi di setiap periode tertentu. Pengusaha
berhak menilai perilaku, tanggung jawab, penghargaan terhadap pekerjaan,
absensi, dan kompetensi. Jika sesuai dengan standar, artinya karyawan
berhak untuk tinggal di perusahaan tersebut. Sebaliknya, calon karyawan
harus rela cabut karena dinyatakan tidak lulus.
Menurut pengalaman para pengusaha, tak sulit menentukan si karyawan
anyar berhak menjadi karyawan tetap atau tidak. Kita cukup melihat
performa selama enam bulan hingga satu tahun. Jika selama menjalani masa
percobaan si calon karyawan tersebut tidak pernah mendapat peringatan,
teguran, atau tidak melakukan kesalahan, berarti si pengusaha tidak
salah pilih orang.
2. Pengertian Out Sourching
Out sourching merupakan trend untuk mengatasi persoalan-persoalan bisnis
yang dihadapi saat ini (Beaumont dan Sohal 2004). Beberapa definisi out
sourching yang telah dikembangkan oleh para ahli, diantaranya :
1) Outsourching adalah tindakan memindahkan bebebrapa aktifitas rutin
internal perusahaan, termasuk dalam hal pengambilan keputusan kepada
pihak lain yang diatur oleh kontrak perjanjian (Maurice F. Greaver II,
1999)
2) Outsourching adalah pemindahan tanggung jawab manajemen kepada
pihak ketiga secara berkesinambungan di dalam menyediakan layanan yang
diatur oleh perjanjian (Shreeveport management Consultancy)
3) Outsourching adalah kontrak dengan pihak lain (diluar perusahaan)
terhadap fungsi, tugas atau layanan organisasi dalam rangka mengurangi
beban proses, memperoleh keahlian teknis maupun penghematan biaya
(Eugene Garaventa, Thomas Tellefsen, 2001)
4) Outsourching adalah aktivitas dimana supplier (pihak pemasok /
vendor ) menyediakan barang dan / atau layanan kepada buyer (pihak
perusahaan) berdasarkan perjanjian yang telah disepakati (Elfing dan
Baven, 1994; Domberger, 1998)
Dari keempat definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa outsourching
adalah pendelegasiasn operasi atau pekerjaan yang bukan inti (non-core)
yang semula dilakukan secara internal kepada pihak eksternal yang
memiliki spesialisasi untuk melakukan operasi tersebut (sharing vision,
2006).
Perkembangan Out Sourching di Indonesia
Praktik dan prinsip-prinsip outsourcing sebenarnya bukan hal baru.
Sejarah mencatat outsourcing telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi.
Pada zaman tersebut, akibat kekurangan dan kemampuan pasukan dan tidak
terkendalinya ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan Romawi menyewa
prajurit asing untuk berperang dan para ahli-ahli bangunan untuk
membangun kota dan istana.
Sejalan dengan adanya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan
berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan
persaingan. Pada tahap ini untuk mengerjakan sesuatu tidak cukup untuk
menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan
untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya terendah.
Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris merekrut serdadu Gurkha yang
terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung,
1945-1950, Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan
outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian
berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya
mereka beroperasi secara efisien dan fokus terhadap bisnis mereka.
Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan
outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala,
menerapkan praktek outsourcing dalam menjalankan usaha.
Dikarenakan adanya pasar global dan godaan tenaga kerja murah, dunia
industri manufaktur mengalami peningkatan tenaga kerja pada dekade
1980-an. Pada tahun-tahun berikutnya, praktek outsourcing didorong oleh
satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus yang
mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel
sebagai sebuah syarat investasi. Secara sederhana berarti, tenaga kerja
hanya dijadikan sebuah fungsi produksi yang bersifat variabel. Ketika
produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terangkat, namun ketika produksi
menurun, pekerja harus dikurangi.
Outsourcing Zaman Belanda
Di Indonesia Sendiri perkembangan outsourcing dibagi ke dalam dua masa,
yaitu zaman pra-kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan. Pada mas
pra-kemerdekaan (penjajahan) dikenal danya Deli Planters Vereeniging.
Pada masa ini, outsourcing diperkenalkan seiring maraknya sistem tanam
paksa (monokultur) seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879.
pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat program besar-besaran dalam
upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah
satu upayanya adalah membuka investasi di sektor perkebunan di daerah
Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda
dalam peraturan No. 138 tentang Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut
kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur
Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.
Peraturan tersebut dikeluarkan untuk menciptakan iklim investasi yang
kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin.
Regulasi ini kemudian mampu mendorong laju investasi sektor perkebunan
tembakau di Deli sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan yang mengatur
tentang ketentuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli)
perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama
Deli Planters Vereeniging. Organisasi tersebut bertugas untuk
mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah. Selanjutnya, Deli
Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari
tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran
terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah, para Kepala
Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum Bumiputra
meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian
diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib menandatangani
perjanjian kontrak yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie. Orang
jawa saat itu tepat untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena sifat
yang mudah mengalah dan mudah diajak kompromi. Pada zaman ini, konon
justru si pelaksana lebih berkuasa dari pada si pemilik investasi.
Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para kuli orang Jawa tersebut
dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung jawab atas
disiplin kerja. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil
kelompok upah para kuli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik
perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana
kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para
mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Para asisten pengawas
ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya, para
administratur bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para
investor yang memiliki perkebunan itu.
Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para
kuli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala.
Mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli.
Begitu berkuasanya sehingga para kuli jika ditanya dimana dia bekerja,
maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya,
akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor
kepalanya.
Pemerasan yang dialami oleh para kuli bukan hanya dari pemerasan
langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo
dan tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan
pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang seperti biaya
transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya
tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat
terbayarkan lunas setelah para kuli bekerja selama lebih dari 3 tahun
kontrak kerja.
Selain di perkebunan, pada masa pendudukan Belanda sekitar Abad XIX,
sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh pelabuhan di
Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, aktivis
Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung
Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai animer. Oleh
para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat.
Secara getok-tular, dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan
Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di
kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi
ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh uang dari upah memburuh.
Outsourcing Masa Kemerdekaan
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2003, outsourcing
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b. Pasal tersebut mengatur bahwa
pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang
saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak
yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada
pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi
pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap karena belum diatur
terkait pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan
pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan
yang dapat menyediakan tenaga kerja outsourcing.
Sedangkan setelah UU No 13/2003, berdasarkan hasil penelitian PPM (Riset
Manajemen: 2008) terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat
lebih dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsourcing,
yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga
outsourcing dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menunjukkan
perkembangan outsourcing di Indonesia begitu pesat Perkembangan
outsourcing ini didorong dengan adanya Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, dalam Undang-Undang tersebut
tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai
oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga
kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain
harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan
mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa
menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan
tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target
produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu,
baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab
akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak
lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur,
buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan,
kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management
fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh
kucuran upah. Selain hal di atas, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenaga kerjaan jelas diatur bahwa adanya perusahaan
penyedia tenaga kerja outsourcing, yang berbentuk badan hukum, dan
bertanggung jawab atas hak-hak tenaga kerja. Selain itu, diatur juga
bahwa hanya pekerjaan penunjang saja yang dapat di outsourcingkan.
3. Hubungan antara tenaga kerja dengan manajer memiliki ketetapan
tertentu, atau yang biasa disebut dengan hukum. Hukum yang mengatur
hubungan tenaga kerja dengan manajer adalah sebagai berikut:
a. Closed Shop Agreement
Hukum yang hanya berlaku bagi pekerja yang telah bergabung menjadi
anggota serikat (persatuan) dan tidak menyangkut pekerja yang belum
menjadi anggota.
b. Union shop Agreement
Hukum yang mewajibkan para pekerja untuk menjadi anggota serikat untuk suatu kurun waktu terentu sampai pada masa tertentu.
c. Open Shop Agreement
Hukum yang memberikan kebebasan, memberikan pilihan kepada pekerja untuk
menjadi atau tidak anggota serikat kerja. Jadi tidak ada suatu paksaan
dan keharusan untuk menjadi anggota perserikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar